Minggu, 02 Januari 2011

untitled ?? 2

Hufft akhirnya arsip bulan ini sudah selesai kususun. Aku melirik ke arah jam besar di tengah ruangan. Pukul 13.45. Waw baru kali ini aku dapat menyelesaikan arsip akhir bulan tanpa perlu lembur. Kuregangkan tanganku ke atas. Tugas akhir bulan memang telah mengambil sebagian besar jatah malam mingguku. Walau biasanya juga malam minggu aku selonjoran di rumah.

SMS dari Mas Rizal mengagetkanku. Dia menyuruhku pulang duluan karena tugasnya belum selesai juga. Entah harus merasa senang atau kecewa. Kecewa karena ini akhir bulan dan dompetku tipis sekali sehingga sayang digunakan untuk ongkos taksi tapi senang karena aku tidak harus diantar Mas Rizal malam ini. Aku tidak harus merasa jahat karena berpura-pura peduli padanya. Bukan maksudnya aku tipe orang bermuka dua, tapi aku takut dia berpikiran macam-macam tentang perasaanku padanya. Semua itu aku lakukan atas rasa terima kasihku karena tanpa bantuannya, aku takkan bisa bekerja di Bank sebesar ini. Dialah orang yang mempromosikan namaku habis-habisan saat aku wawancara hingga pada akhirnya aku diterima sebagai staff marketing disini padahal aku bukan lulusan Managemen. Tapi sikapnya akhir-akhir ini membuatku ragu. Dia seperti menagih semua yang telah ia berikan padaku dengan mengajakku malam mingguan atau ikut bertemu klien. Aku mulai merasa tak nyaman.

Mungkin satu-satunya lelaki yang membuatku nyaman hanya dia. Dia yang telah lama tak kutemui. Dia yang memberiku gelang rajutan yang sampai saat ini masih kupakai walau sudah jauh dari kata lusuh. Dia yang 7 tahun lalu memberiku keyakinan untuk tetap kuliah di Bogor.

Namanya Dion. Ardio Naufal Perdana. Satu-satunya siswa yang berhasil mendapatkan beasiswa di University Of Melbourne, Faculty Of Architecture, Building and Planning. Secara mengagetkan sahabat kecilku itu bisa berhasil masuk ke universitas besar itu. Padahal tadinya dia tidak berniat kuliah. Dia hanya ingin meneruskan bisnis ayahnya di perkebunan. Entah apa yang dia pikirkan sehingga dia berubah pikiran dan pergi meninggalkanku ke negeri Kangguru itu. Yang aku ingat terakhir kali ketika ia hendak berangkat ke bandara, dia menitipkan cincin perak kepadaku. Katanya dia titip dan akan mengambilnya lagi ketika sudah pulang dan segera menyerahkannya ke tunangannya. Waktu itu mungkin aku hanya bisa tersenyum geli, tapi aku baru sadar, aku ingin menjadi orang yang dipakaikan cincin itu ke jari manisku.

"Heh ! Knape lu bengong?" sebuah suara dengan logat Betawi itu mengagetkanku. Silvi lalu duduk disebelahku. Aku mengerjap-ngerjap sebentar.
"Siapa yang bengong ? Sok tau aja orang lagi mikir malem minggu mau ngapain yah kalo ga punya duit gini ?"
"Ah ga bakalan bisa lu ngeboongin gue ! Mikirin apa sih ?" Silvi masih mendesakku. Aku hanya terdiam sambil melihat gelang "lusuh"ku.
"Jiah, masih aja lu pake tuh gelang ? Gue penasaran dah Dion yang lu ceritain itu cakepnya kayak gimana sampe seorang Ambar kelepek-kelepek kayak gini" ujar Silvi sambil ikut memperhatikan gelangku. Aku hanya tersenyum sambil mengambil tasku diatas meja dan berlalu meninggalkannya.
"Woyy mau kemana ? Seenaknya aja ninggalin gue !" seru Silvi. Aku berbalik menghadapnya dan bertanya,
"Mobil lw bensinnya penuh ga?"
"Penuh sih abis dibeliin kakak gw, kenapa ? Mau main ?" tawarnya.
"Anter gue ke Bogor bisa ?"

****
"Ooh jadi cincin yang lu pake sekarang itu bukan buat ngelabuin cowok-cowok biar gak ngegodain lu gt ?" tanya Silvi sambil terus menatap jalan tol yang ramai.
"Yaah itu salah satu alasan juga sih. Tapi sebenarnya gue memang pingin banget dipakein ini sama dia bukan dititipin doang. Gw salah ga yah ?" ujarku ragu. Silvi mengernyit sedikit.
"Apa yang salah ? Waktu dititipin, Dion gak ngelarang lu kan buat make ? Eh jangan-jangan sebenernya Dion memang pingin ngasih ke lu kali kalo udah pulang. Jadi pas pulang kalian tunangan deeh . Kiw kiiiiwww" ujar Silvi meledek. Aku menepuk bahunya pelan sambil manyun.
"Please deh ya, gue ga mau geer ! Lagipula masa iya Dion mau sama gw yang udah kayak kutu rambut gini"
"Kutu rambut ? Ngaco lu. Eh eh kenapa nih mobil ??" tiba-tiba mobil yang dikendarai Silvi berjalan endut-endutan dan kemudian berhenti. Ooh bagus.
"Kakak lu seriusan kemaren beliin lu bensin penuh vi ?" ujarku tenang. Silvi mulai panik.
"Iya, kemaren nih mobil dipake dia pacaran. Imbalannya bensin gue dipenuhin. Tapi kok udah kosong lagi yah ?" ujarnya sambil terus mencoba menghidupkan mesin mobil.
"Jangan-jangan abis dipenuhin baru dipake buat jalan-jalan kali. Yaudah gue telpon derek. Lu punya nomornya kan ?" ujarku sambil mengambil hpnya diatas dashboard. Lalu dengan cepat aku mengetikkan nomor telepon derek itu dan segera menelponnya serta memberi tahu posisi kami.

Silvi masih mengecek mesin mobilnya. Sesekali dia merengut menyerah karena gak mengerti sama sekali mesin mobil. Aku bersandar di pintu mobil sambil memperhatikan jalanan. Tiba-tiba sebuah mobil jeep mendekat dan berhenti di depan mobil Silvi. Silvi kaget sambil berbisik kearahku.
"Eh lu tadi nelpon derek kan ? Bukan nelpon yang lain-lain ?"
"Yah beneran gue tadi nelpon derek. Tau tuh siapa" ujarku bertanya-tanya.

Tak lama kemudian seorang lelaki dengan berpakaian rapi lengkap dengan dasi turun dan berjalan kearah kami. Dari langkahnya, aku seperti mengenalnya. Ah tak mungkin Dion.
"Kenapa mbak ?" tanyanya. Silvi melongo sebentar lalu menjawab,
"Eh eh ini mogok. Kayaknya bensinnya habis. Tenang aja kita udah telpon derek kok" ujarnya tergagap. Kemudian dia tersenyum kearahku. Aah mirip Dion ! Aku melirik kearah tangannya yang terpasang gelang rajut lusuh yang sama denganku. Aku tergagap.
"Hai, apa kabar Ambar ?"
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar